Perkenalkan saya frandy tulisan ini adalah tulisan pertama saya yang saya
akan buat mungkin ini berbagi artikel saja yang saya dapat dari ibadah minggu
pada tanggal 13 agustus 2017 di gereja GKI di daerah Bandung. Mengapa saya ingin menulis ini dan membagikannya
? saya merasa tulisan ini yang judul nya “Makna “NKRI Harga Mati “ yang di
tulis oleh Pdt. Albertus Patty sangat sesuai dengan situasi keadaan bangsa
Indonesia saat ini dimana perbedaan menjadi alat buat perpecahan. Artikel
tersebut di bagi menjadi beberapa bagian yaitu Ramalan Furnivall, Belajar dari
Pengalaman bangsa- bangsa lain, NKRI harga mati dan penutup. Nah mungkin temen temen penasaran isi
artikel tersebut. Oke langsung saja
artikel tersebut berisi seperti ini.
Makna
“NKRI Harga Mati”
Ramalan Furnivall
Pada
17 Agustus 2017 nanti bangsa kita akan genap berusia 72 tahun kita patut
bersyukur karena dari awal tidak seorangpun menduga sebgai bangsa, Indonesia
akan bertahan selama itu. Banyak orang pesimis Indonesia akan teeap menyatu
sebagai bangsa. Salah satu yang pesimis adalah Furnivall, seorang pejabat
ingris yang bekerja di Burma. Ia mengatakan bahwa bila Hindia Belanda ( Baca :
Indonesia) diberikan kemerdekaan, Indonesia yang merdeka itu akan hancur
berantakan. Sebagaiorang yang intelektual, ia tidak asal bicara. Ia punya alas
an rasional yang bisa mempertanggungjawabkan. Baginya masyarakat Indonesia
terlalu beragam. Baik suku, bangsa, bahasa dan agama. Tidak ada nilai yang
menghubungkan dan merekatkan perbedaan yang ada. Satu satunya tempat perjumpaan
dan interaksi bangsa Indonesia adalah pasar. Segalanya terlalu informal.
Semuanya berlangsung dalam semangat transaksi. Di luar pasar, perbedaan yang
sangat tajam dan ini adalah potensi yang bisa merobek- robek kesatuan yang batu
itu. Lalu, Furnivall meramalkan bahwa hanya dalam hitungan bulan bulan saja,
Negara yang baru dimerdekakan itu akan luluh berantakan.
Ramalan Furnivall tidak terbukti.
Indonesia masih bersatu! Usianya memasuki 72 tahun. Padahal Uni Soviet, Negara
adi daya, hancur berantakan pada usia 70 tahun. Meski demikian, ramalan
Furnivall tetap harus tetap kita perhitungkan karena persatuan yang kita miliki
bukan kita terima sebagai sebagai sesuatu yang taken for garanted. Tidak
ada kenyamanan yang gratis!. Persatuan dan keutuhan bangsa harus diperjuangkan
terus selama kita hidup. Bila lengah atau kita bersikap apatis, Negara Kesatuan
Repoblik Indonesia (NKRI) bisa terkoyak seperti Irak, SUriah, Yaman, India,
Yugoslavia atau Sudan.
Belajar dari Pengalaman Bangsa- Bangsa Lain
Pengalaman Negara-negara yang
terpecah belah harus kita pelajari agar tidak terjebak pada lobang maut yang
sama. Salah satu akar konflik yang memecah belah Negara- Negara arab dan
beberapa Negara di afrika adalah primordialisme agama dan primordialisme etnik.
Di arab, primodialisme agama lebih di utamakan daripada nasionalisme arab.
Akibatnya muncul perpecahan dan bahkan konflik berdarah- darah antara Sunny dan
Shiah, antara Islam fundamentalis dan Kristen Maronik di Libanon, atau anara
Islam versi Wahabidan Kristen Koptik di Mesir. Konflik primordialisme agama ini
telah memorak-morandakan Negara- Negara Arab. Yang paling gembira dengan
perpecahan itu adalah Negara Israel karena perpecahan itu membuat bangsa Arab
tidak pernah bersatu melawan bangsa Israel. Padahal pada masa lalu yang
memperkuat nasionalisme Arab adalah karena adanya Israel yang dianggap sebagai
ancaman dan sebagai musuh bersama. Yang paling sedih dengan perpecahan Arab
adalah Palestina karena bangsa Arab tidak pernah lagi satu suara dalam
memperjuangkan kemerdekaan mereka. Celakanya, perpecahan bangsa Arab perimbas
pada perpecahan bangsa Palestina. Sebagian mendukung kelompok Hamas, sebagian
mendukung pejuang PLO ( Palestine
Liberation Organization ). Misi kemerdekaan bangsa Palestina pun makin
tercecer!. Konflik primordialisme atas nama agama juga terjadi di Sudan antara
Islam yang mayoritas menghuni daerah utara dan Kristen yang mendiami daerah
selatan. Diafrika, primordialisme etnik, terutama antara suku Huttu dan etik
Tutsi, bukan saja merapuhkan ikatan bangsa Rwanda, tetapi juga menyebabkan
tragedi kemanusiaan disana.
NKRI Harga Mati
Nasionalisme Indonesia pernah
mengalami ujian yang cukup berat. NKRI pun sempat goyah. Pemberontakan atau
separatism yang didasarkan pada kepentingan primordialisme agama dan etnik
menjadi isu penyebabnya. Pada masalalu, kita mengenal pemberontakan DI/TII dan
Permesta. Keluarnya Timor TImur dari pengakuan NKRI cukup menohok kita. Ada
ketakutan, terlepasnya Timor Timur akan menimbulkan efek domino pada daerah-
daerah lainnya. Perjalanan bangsa ini pun dihantui trauma menguatnya
primordialisme agama dan primordialisme etnik. Bila itu terjadi Aceh, Papua,
Maluku, dan daerah lainnya bisa melepaskan diri dari NKRI. Saat kepercayaan
diri terhadap nasionalisme bangsa makin memudar, Gus Dur pun tampil dan
menyampaikan pikirannya bahwa “NKRI Harga Mati. “ artinya, dalam situasi apa
pun kesatuan, keutuhan, dan kebersamaan kita sebagai bangsa Indonesia dalam
wilayah NKRI harus diperjuangkan. Bila perlu diperjuangkan sampai mati.
Pernyataan Gus Dur ini seperti tetesan air yang membasahi keringnya
kerongkongan nasionalisme kita.
Ada dua aspek yang hendak di
capai melalui pernyataan Gus Dur ini. Pertama, perlunya perjuangan bersama
untuk menjaga keutuhan NKRI. Bagi Gus Dur, NKRI adalah kesepakatan bersama yang
harus dijaga juga secara bersama. Perjuangan dalam menjaga NKRI harus dilakukan
secara serius dalam segala bidang kehidupan, baik sosial-politik, ekonomi,
pertahanan dan keamanan. Berkali- kali Gus Dur mengingatkan bahwa dalam NKRI,
agama- agama dan kesadaran bahwa setiap kelompok adalah factor komplementer
(pelengkap) bagi yang lain. Sinergi sebgai masyarakat harus terus dipupuk untuk
memperkuat NKRI yang adil, damai dan sejahtera bagi semua. Aspek kedua dari
pernyataan Gus Dur adalah demi menghindarkan konflik dan perang saudara seperti
terjadi di Rwanda, Libanon dan Sudan. Dalam peperangan tidak aka nada yang
menang. Kita semua hancur dan binasa bersama.
Penutup
Berbagai kasus di atas menjelaskan
bahwa perpecahan suatu bangsa terjadi saat nasionalisme bangsa terkikis, lalu
berganti dengan primordialisme agama atau primordialisme etnik. Lalu, orang
lebih mementingkan kelompoknya dari pada memikirkan kepentingan seluruh bangsa.
Tentu saja, nasionaisme yang terbuka pada kemanusiaan sejagat. Nah, panggilan
kita sebagai gereja adalah memberikan imunisasi bagi umatnya agar terhindar
dari epidemic eksklusifisme dan fundamentalisme agama penyebab primordialisme
sempit. panggilan gereja pada masa kini adalah membangun semangat kebangsaan
NKRi dalam bingkai NKRI. Kita harus mampu melihat diri kita sebagai factor
komplementer ( pelengkap) bagi utuh nya kebangsaan kita. Kita semua seratus
persen Indonesia, seratus persen kristern. Panggilan kita adalah membangun
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang adil dan damai bagi semua. Merdeka ! .